Berselancar di dunia maya, penulis mengunjungi arsip Radar Banjarmasin dan dibuat agak berkerut dengan membaca opini yang ditulis oleh Gita Pebrina Ramadhana beberapa waktu lalu tentang Pelecehan Seksual di Sekolah (30/04/2013). Terkejut karena rasanya kesimpulan dari tulisan tersebut terlalu dini sebagai sebuah kejadian di sekolah-sekolah di Indonesia. Penulis percaya bahwa masih banyak-banyak-dan banyak sekolah-sekolah-sekolah yang masih bagus dan baik dengan memberikan pelajaran yang baik-baik-baik pula.
Gita Pebrina menuliskan “permasalahan Indonesia tidak pernah berakhir dan selesai. Khususnya terhadap anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun yang terjadi adalah pelecehan seksual di sekolah tingkat SMP dan SMA. Betapa tidak, Komnas Perempuan mencatat dalam waktu 13 tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah 93.960 kasus dari total 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan. Artinya setiap hari ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan itu termasuk para remaja, sebagaimana di kutip dalam Majalah Detik, 28 Januari-3 Februari 2013”.
Begitu juga pada contoh-contoh kejadian yang diutarakan Gina Pebrina, “Seperti di Pulo Gebang, Jaktim, seorang siswi SD yang berinisial RI dicabuli oleh ayah kandungnya sendiri dan akhirnya meninggal setelah terinfeksi penyakit gonorhea tertular dari si pelaku. (Al-Islam, edisi 642 1 Februari 2013). Tidak hanya itu seorang pria residivis berturut-turut mencabuli 6 orang bocah SD. Di Tegal Jateng, pada 16 Januari seorang siswi SMP diperkosa ramai-ramai oleh tujuh teman lelakinya”, setelah dibaca berulang-ulang dan diamati secara serius ternyata kejadian pelecehan yang dimaksud juga tidak terjadi di sekolah, sehingga tidak bisa langsung divonis bahwa “pelecehan seksual di sekolah”.
Sekolah sendiri secara tegas tidak mentolelir ada pelecehan seksual. Para peserta didik diajarkan pengetahuan, pemahaman, dan pendidikan yang menjadi bekal mereka kelak. Pendidikan sebagaimana Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 1 Ayat 1, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini tentunya menjadi pedoman bagi para guru di sekolah untuk melaksanakan proses belajar mengajar.
Pelajar yang menjadi korban atau pelaku pelecehan di luar sekolah tidak bisa dikatakan terjadi di sekolah. Di sekolah tidak diajarkan hal-hal yang berbau kekerasan ataupun pelecehan, sehingga tidak adil rasanya jika kita vonis semua pelajar ataupun sekolah seperti itu. Padahal banyak pelajar-pelajar yang berprestasi, berkelakuan baik, dan membanggakan orang tua. Begitu juga sekolah yang “melahirkan” alumni-alumni yang handal, mempunyai daya saing tinggi, berprestasi dan membawa harum nama daerah bahkan negara tercinta ini. Mari melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang yang objektif.
Peserta didik berada di sekolah hanya selama 7-8 jam pelajaran saja, selebihnya peserta didik lebih banyak di luar sekolah (rumah) menghabiskan waktunya. Sehingga tidak asik rasanya jika masa depan anak digantungkan pada guru semata. Padahal pendidikan bukan hanya tanggungjawab sekolah (guru) tetapi tanggungjawab bersama, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Pasal 8, ayat 1 disebutkan masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 10, pemerintah dan Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kecenderungan orang tua ketika menyekolahkan anaknya seperti “menyerahkan” sepenuhnya tanggungjawab pendidikan kepada guru padahal tidak demikian adanya. Jika selama di sekolah, peserta didik menjadi tanggungjawab sekolah untuk memberikan pendidikan, sedangkan jika di rumah menjadi kewenangan orang tua.
Sekali lagi, sekolah tidak mentolelir pelecehan atau tindak kekerasan di sekolah. Sekolah mengedepankan kaidah-kaidah pendidikan dalam penyelesaian permasalahan yang timbul. Sekolah dibangun atas dasar tujuan yang mulia untuk mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan tujuan nasional pendidikan, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, capak, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Para pendiri bangsa ini meyakini melalui pendidikan bangsa ini bisa maju. Sekolah menjadi media penting dalam kemajuan bangsa ini, karena itu mari kita percaya dengan sekolah dan mari kita bangga dengan sekolah-sekolah di negeri ini. Salam pendidikan
Ditulis Oleh : Tri Hayat Ariwibowo, S.Pd (SMA Negeri 3 Banjarbaru)
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda.
Kalau ada salah dan khilaf dalam penyajian informasi ini mohon kiranya untuk bisa menyampaikannya disini agar bisa kita musyawarahkan bersama untuk mencari titik temu yang lebih sempurna lagi.